LEBONG – Dugaan praktik fee proyek dalam pelaksanaan program Optimalisasi Lahan (OPLAH) Kementerian Pertanian (Kementan) di Kabupaten Lebong, Bengkulu, kian menyeruak. Indikasi adanya permainan anggaran di balik proyek bernilai miliaran rupiah ini menguat setelah sejumlah kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) penerima bantuan mengaku diminta menyetorkan 20 persen dari total nilai proyek kepada oknum pejabat di Dinas Pertanian dan Perikanan (Disperkan) Lebong.
“Iya benar, fee 20 persen diserahkan ke Dinas Pertanian (oknum pejabat, red). Besar nian mereka minta. Kami masukkan ke kresek hitam uangnya,” ungkap salah satu perwakilan Poktan asal Kecamatan Topos, kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Beberapa sumber lain bahkan menyebut uang tersebut sempat diantar langsung ke Rumah Dinas Bupati Lebong, meski mereka enggan menyebutkan kepada siapa uang itu diserahkan.
“Antara kami ada juga yang antar langsung ke Rumdin,” ujar salah satu penerima bantuan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana praktik setoran 20 persen bisa terjadi, padahal proyek ini berada di bawah pendampingan hukum Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebong melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).
Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Lebong, Robby Rahditio Dharma, S.H., M.H, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah mendengar isu terkait dugaan pungutan tersebut.
“Iya, ini pendampingan Datun. Memang ada isu yang kita terima terkait fee 20 persen ini,” ujarnya, Kamis (9/10/2025).
Namun, hingga kini hasil penelusuran Kejari masih minim. Dari 123 Poktan penerima program, baru sekitar 60 kelompok yang dipanggil untuk dimintai keterangan. Ironisnya, tak satu pun mengakui adanya setoran seperti yang ramai diberitakan.
“Sudah kita panggil sekitar 60 Poktan, sejauh ini belum ada yang ngaku. Tapi kita masih akan memanggil yang lain, untuk hasilnya tunggu saja,” kata Robby.
Sikap diam para penerima bantuan menimbulkan dugaan adanya tekanan atau ketakutan untuk berbicara terbuka. Beberapa sumber internal mengaku khawatir jika pengakuan mereka justru akan berdampak hukum pada mereka.
Di sisi lain, Kepala Disperkan Lebong Hedi Parindo, SE, membantah keras adanya praktik fee proyek tersebut. Ia menyebut tudingan itu tidak berdasar karena dana program OPLAH disalurkan langsung ke rekening penerima, tanpa melalui pihak dinas.
“Itu kan langsung ke rekening mereka (P3A, Poktan, Gapoktan, red). Jadi bagaimana bisa ada pemotongan? Sejauh ini juga tidak ada laporan resmi yang saya terima,” tegasnya.
Hedi juga menambahkan, proyek tersebut berjalan di bawah pengawasan hukum Kejari Lebong melalui Bidang Datun, sehingga, menurutnya, kecil kemungkinan terjadi penyimpangan.
“Iya, ada pendampingan dari Kejari Lebong,” katanya.
Namun, pengakuan para penerima bantuan dan lemahnya hasil klarifikasi dari pihak kejaksaan menimbulkan pertanyaan serius soal efektivitas peran Datun dalam fungsi pengawasan proyek pemerintah. Pendampingan hukum yang seharusnya menjadi tameng pencegahan korupsi justru dinilai sebatas formalitas administratif.
“Pendampingan hukum tidak boleh hanya jadi stempel legalitas. Kalau masih ada praktik setoran 20 persen, berarti fungsi kontrol Datun lumpuh,” ujar seorang aktivis antikorupsi di Bengkulu.
Lanjut dia, kasus ini membuka kembali sorotan terhadap hubungan simbiosis antara oknum pejabat dan penerima proyek bantuan pemerintah. Skema fee yang diduga terstruktur ini berpotensi melibatkan lebih dari sekadar pelaksana lapangan. Kejari Lebong kini didesak untuk tidak berhenti pada pemeriksaan kelompok tani, melainkan menelusuri aliran uang, motif, dan aktor yang bermain di balik layar. Tanpa langkah tegas dan transparan, pendampingan hukum justru berisiko menjadi perisai legal bagi praktik korupsi yang merugikan petani dan publik.
“Pendampingan hukum seharusnya menjadi benteng integritas, bukan pelindung bagi pelaku penyimpangan. Jika Kejari Lebong tak menelusuri aliran uang dan aktor di baliknya, maka keadilan hanya akan berhenti di atas kertas.” imbuhnya.
Untuk diketahui, program Oplah Non Rawa di Kabupaten Lebong nilainya tidak sedikit, kabarnya mencapai Rp11,6 miliar yang dikucurkan kepada 123 kelompok tani yang tersebar di 12 kecamatan. Dari 123 kelompok tani yang ada, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Sejahtra Desa Talang Liak I, Kecamatan Bingin Kuning, tercatat sebagai penerima paket terbesar yakni Rp386 juta. Sementara Poktan Rawa Makmur di Desa Ketenong II, Kecamatan Pinang Belapis, menerima paket terkecil sebesar Rp32,2 juta. (PLS)
Baca juga:














