/
/
bengkulu-selatanbengkulu-tengahbengkulu-utaraheadlinehukum-peristiwakaurkepahiangkota bengkuluLebongmuko-mukoOpini/Tajukrejang-lebongseluma

Bisnis Ilegal Berlabel Penegakan Hukum

3516
×

Bisnis Ilegal Berlabel Penegakan Hukum

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

//OPINI

Curup, 04 September 2025

Oleh: YOFING DT – Jurnalis gobengkulu.com

Di negeri ini, hukum sering dipamerkan seperti pedang tajam, tapi ujungnya ternyata tumpul atau lebih tepatnya, bisa dibengkokkan. Aparat penegak hukum kerap tampil gagah dengan jargon “penegakan tanpa pandang bulu.” Namun di balik panggung, mereka justru sibuk menakut-nakuti tersangka, seakan palu keadilan bisa mereka ayunkan kapan saja. Masalahnya, palu itu sering bukan untuk menghukum, melainkan untuk memeras.

Dalam perkara tindak pidana korupsi, misalnya, rakyat berharap aparat menjadi algojo bagi pencuri uang negara. Yang terjadi, hukum berubah jadi dagangan. Pasal-pasal dijajakan seperti barang di kios pasar malam. Ancaman hukuman berat hanya jadi pembuka percakapan menuju kalimat pamungkas, “mau beres atau lanjut?”

Di titik ini, hukum kehilangan martabat. Penegak hukum menjelma makelar perkara. Bukan lagi mengusut, melainkan mengatur. Bukan lagi menjerat, melainkan menakar. Seberapa tebal amplop menentukan seberapa tipis tuntutan. Perkara besar bisa menyusut, pelaku kelas kakap bisa lolos, asal harga cocok.

Rakyat tentu muak. Bagaimana mungkin korupsi yang merampas hak jutaan orang malah berubah jadi ATM bagi segelintir oknum berseragam hukum? Bukannya menegakkan keadilan, mereka justru memperdagangkan rasa takut. Bukannya membersihkan sistem, mereka malah melanggengkan kebusukan.

Ironinya, praktik pemerasan berkedok penegakan hukum ini sudah jadi rahasia umum. Semua orang tahu, tapi semua pura-pura tidak tahu. Inilah wajah hukum kita, garang ke bawah, jinak ke atas, dan selalu lapar di tengah.

Kalau aparat terus menjadikan hukum sebagai komoditas, rakyat pada akhirnya akan berhenti percaya pada institusi resmi. Yang lahir adalah anarki, main hakim sendiri, atau sikap “asal bisa bayar, semua urusan beres.” Dan ketika itu terjadi, aparat tak lagi dibutuhkan karena mereka sudah lama menjual dirinya sendiri

Seperti yang sering kita dengar, istilah “masih dalam penyelidikan” sudah jadi mantra sakti penyidik. Aparat penegak hukum (APH) kerap memanggil kepala desa, ASN, sampai kontraktor untuk dimintai keterangan soal dugaan korupsi. Publik sempat berharap, ada tikus-tikus anggaran yang diseret ke meja hijau. Setiap kali publik bertanya, aparat penegak hukum (APH) hanya melempar jawaban itu, “masih dalam penyelidikan”. Kasus pun dibiarkan menggantung berlarut-larut hingga akhirnya lenyap seperti kabut di pagi hari.

Tapi ternyata, drama ini bukan dimainkan sendirian. Ada peran tambahan dari oknum berkedok LSM dan wartawan yang ikut meramaikan panggung. Dengan wajah garang, mereka melaporkan dugaan korupsi, menulis berita keras, atau mengintimidasi lewat klarifikasi. Di depan publik, seakan mereka sedang membela kepentingan rakyat.

Ironinya, di balik layar mereka justru duduk semeja dengan oknum aparat. Laporan LSM hanyalah pintu masuk. Berita keras hanyalah ancaman awal. Semua itu dipakai sebagai alat tekan, bukan untuk mengungkap kebenaran, tapi untuk membuka jalan negosiasi. Dan di titik ini, penyelidikan hukum berubah jadi bisnis berjamaah dengan label moral.

Oknum aparat dapat bagian karena kasus tak pernah sampai ke meja hijau. Oknum LSM dan wartawan ikut menikmati hasil karena mereka yang pertama kali memantik “drama.” Para kepala desa, ASN, dan kontraktor yang dipanggil berubah jadi sapi perah, diperas dari berbagai sisi agar bisa lolos.

Yang paling menyedihkan, praktik kotor ini dibungkus dengan jargon suci, penegakan hukum, kontrol sosial, fungsi pers. Semua istilah luhur itu dipakai sekadar sebagai dekorasi. Padahal yang berlangsung hanyalah pemerasan kolektif.

Penulis bisa tegaskan, ini bukan penyelidikan hukum. Ini bisnis. Bukan bisnis legal, melainkan bisnis gelap yang dijalankan oknum dengan memakai jubah moral. Hukum jadi komoditas, dan keadilan tak lebih dari dagangan.

Selama praktik ini dibiarkan, rakyat hanya akan terus jadi penonton setia sebuah opera sandiwara, APH pura-pura serius, LSM pura-pura peduli, wartawan pura-pura kritis. Padahal semuanya hanya sibuk menghitung laba.

Note: Penulis di sini berbicara tentang OKNUM!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *