GO BENGKULU – Di balik jargon reformasi birokrasi dan transparansi pengelolaan keuangan negara, praktik cashback ke atasan pasca pencairan dana masih menjadi rahasia umum. Modusnya beragam, mulai dari pemotongan anggaran proyek hingga setoran wajib bagi pejabat tertentu. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga bentuk korupsi yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan.
Cashback dalam birokrasi bukan terjadi begitu saja. Ada pola yang telah lama berlangsung dan terus berevolusi agar tak terendus aparat penegak hukum. Setelah anggaran dicairkan, bawahan dipaksa untuk menyerahkan sejumlah dana kepada atasan, sering kali dengan dalih “biaya koordinasi” atau “tanda terima kasih”. Di beberapa instansi, sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa setiap pencairan anggaran harus menyisihkan sejumlah persen untuk atasan. Tidak mengikuti aturan ini berarti siap-siap dicoret di masa mendatang.
Agar dana cashback tetap mengalir tanpa terlihat mencurigakan, nilai anggaran proyek kerap dinaikkan. Barang dan jasa yang sebenarnya bisa diperoleh dengan harga lebih murah akhirnya digelembungkan untuk menutupi praktik ilegal ini. Salah satu cara paling aman untuk mendapatkan dana tambahan adalah dengan membuat laporan perjalanan dinas fiktif. Uang yang dicairkan kemudian dibagi-bagi, sebagian untuk atasan, sebagian lagi sebagai “uang lelah” bawahan. Bahkan, beberapa insentif untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), seperti tunjangan kinerja atau dana operasional, terkadang dipotong diam-diam sebelum sampai ke tangan yang berhak.
Banyak ASN merasa tak berdaya menghadapi sistem yang telah berjalan bertahun-tahun. Mereka dipaksa tunduk pada kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inspektorat yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas kerap mandul, baik karena tekanan dari atasan maupun karena turut menikmati hasil dari praktik ini. ASN yang mencoba melawan bisa kehilangan jabatannya, dimutasi ke daerah terpencil, atau bahkan dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan yang dibuat-buat. Dalam beberapa kasus, jika praktik ini tercium oleh aparat penegak hukum, jalur “damai” sering kali lebih diutamakan daripada tindakan hukum yang tegas.
Praktik cash back ini bukan sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan efek domino yang lebih luas. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat justru menguap di tangan segelintir pejabat. ASN yang jujur dan profesional justru sering tersingkir, sementara mereka yang bermain dalam sistem ini terus naik jabatan. Anggaran yang tidak sampai ke tangan yang tepat menyebabkan layanan publik menjadi buruk, sementara elite birokrasi semakin makmur.
Membasmi cash back dalam birokrasi bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan pula mustahil. Setiap pencairan dana harus terintegrasi dalam sistem yang transparan dan bisa diaudit secara real-time. ASN yang berani melaporkan praktik ini harus dilindungi dengan regulasi yang kuat agar tidak mengalami intimidasi atau kriminalisasi. Bukan sekadar pencopotan jabatan, tetapi hukuman pidana yang maksimal harus diterapkan kepada pejabat yang terlibat, termasuk mereka yang menerima dan meminta cashback. Inspektorat dan Badan Pengawas Keuangan harus dipastikan independensinya agar tidak mudah ditekan oleh pejabat yang memiliki kepentingan.
Cashback ke atasan pasca pencairan anggaran adalah wajah gelap birokrasi yang merugikan negara dan rakyat. Jika terus dibiarkan, sistem pemerintahan akan semakin membusuk dari dalam. Reformasi birokrasi sejati bukan hanya tentang regulasi, tetapi juga tentang keberanian untuk melawan praktik yang telah lama mengakar. Kini, pertanyaannya: siapa yang berani memutus mata rantai ini? Atau akankah kita semua hanya menjadi bagian dari sistem yang sama-sama tahu, tetapi memilih diam?
Penulis: YOFING DT, jurnalis gobengkulu.com