/
/
headlineOpini/Tajuk

IPAL di Fasilitas Kesehatan: Formalitas atau Tanggung Jawab Nyata?

1551
×

IPAL di Fasilitas Kesehatan: Formalitas atau Tanggung Jawab Nyata?

Sebarkan artikel ini
Faskes wajib patuhi standar IPAL

BENGKULU – Fasilitas kesehatan (faskes) memiliki peran krusial dalam memberikan pelayanan medis kepada masyarakat. Namun, tak hanya soal pelayanan, faskes juga bertanggung jawab dalam mengelola limbah medis, terutama limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. Sayangnya, masih banyak faskes yang mengabaikan kewajiban ini, menciptakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

IPAL harus menjalankan beberapa tahapan pengolahan, termasuk pemisahan awal limbah padat, pengolahan biologis dengan bakteri untuk menguraikan zat organik, pengolahan kimiawi untuk menetralisir bahan berbahaya, serta pengolahan lanjutan untuk memastikan limbah yang dibuang telah memenuhi standar lingkungan. Selain itu, fasilitas kesehatan juga diwajibkan melakukan pengujian rutin terhadap hasil pengolahan IPAL guna memastikan efektivitasnya.

Limbah cair dari kegiatan medis mengandung berbagai zat berbahaya, seperti sisa obat-obatan, bahan kimia laboratorium, serta mikroorganisme patogen. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini dapat mencemari sumber air, mengganggu ekosistem, dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit. Oleh karena itu, setiap faskes diwajibkan memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memenuhi standar baku mutu lingkungan.

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan regulasi ketat terkait pengelolaan limbah medis di faskes, antara lain:

  • Permenkes No. 18 Tahun 2020, yang mengatur tata cara pengelolaan limbah medis berbasis wilayah.
  • Permenkes No. 40 Tahun 2022, yang menjadi pedoman utama dalam pendirian dan operasional IPAL di rumah sakit.
  • Permen LHK No. 4 Tahun 2020, yang mengatur pengangkutan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) oleh pihak berizin.
  • Petunjuk Teknis 2019 untuk Klinik, yang memberi panduan khusus bagi fasilitas kesehatan berskala kecil.

Dalam mendirikan IPAL, fasilitas kesehatan harus memperhatikan beberapa persyaratan teknis, seperti:

  • Lokasi tidak berada di atas tanah yang mudah bergeser untuk menghindari risiko kerusakan struktur IPAL.
  • Tidak jauh dari sumber air limbah dan saluran pembuangan untuk efisiensi sistem pengolahan.
  • Mempertimbangkan aspek estetika agar tidak mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar.
  • Mengupayakan pencemaran udara seminimal mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat sekitar.

Kepatuhan terhadap regulasi IPAL bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari tanggung jawab fasilitas kesehatan dalam menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Dengan penerapan IPAL yang optimal, fasilitas kesehatan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem di sekitarnya.

Meskipun regulasi ini sudah cukup jelas, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak faskes yang hanya membangun IPAL sekadar untuk memenuhi persyaratan administratif tanpa memastikan efektivitas pengolahannya. Bahkan, tak jarang ditemukan faskes yang langsung membuang limbah medis ke lingkungan tanpa proses pengolahan yang memadai.

Dampak dari pengelolaan limbah yang buruk tidak bisa dianggap remeh. Pencemaran air dan tanah akibat pembuangan limbah cair sembarangan dapat memicu berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit kulit, gangguan pernapasan, dan infeksi akibat paparan mikroorganisme patogen. Selain itu, limbah medis yang mengandung zat kimia berbahaya dapat mencemari ekosistem dan membahayakan keberlangsungan makhluk hidup di sekitarnya.

Secara hukum, fasilitas kesehatan yang tidak memenuhi standar IPAL dapat dikenakan sanksi berat, mulai dari denda administratif hingga pencabutan izin operasional. Namun, lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran di kalangan pengelola faskes membuat pelanggaran ini terus terjadi.

Masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan pembuangan limbah medis ilegal. Jika menemukan indikasi pelanggaran, warga dapat melaporkannya ke dinas lingkungan hidup atau instansi terkait agar segera ditindaklanjuti.

Di sisi lain, pemerintah juga harus lebih proaktif dalam melakukan pengawasan dan memberikan pendampingan teknis bagi faskes yang belum memiliki sistem IPAL yang memadai. Selain itu, transparansi dalam proses audit dan penegakan hukum harus ditingkatkan agar tidak ada lagi faskes yang bermain-main dengan limbah medis.

Jika pengelolaan limbah cair di faskes terus diabaikan, bukan hanya lingkungan yang terancam, tetapi juga kesehatan generasi mendatang. Kepatuhan terhadap standar IPAL bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem di sekitarnya.

Penulis: YOFING DT, jurnalis gobengkulu.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *