GO BENGKULU – Salah satu isu yang semakin banyak dikeluhkan masyarakat belakangan ini adalah mengenai biaya visum yang dibebankan pada korban dalam proses penyelidikan kasus pidana. Sebagian besar warga yang mengalami tindak kejahatan merasa dirugikan karena harus menanggung biaya visum yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara atau pihak yang berwenang. Biaya yang harus ditanggung oleh korban ini menambah beban psikologis dan finansial, terlebih bagi mereka yang tidak mampu.
Banyak pihak berpendapat bahwa biaya visum seharusnya menjadi tanggung jawab negara, terutama dalam kasus-kasus tertentu seperti kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, atau tindak pidana lainnya di mana korban sudah cukup menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini sejalan dengan semangat hak asasi manusia (HAM), yang menekankan perlindungan terhadap korban kejahatan.
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, negara seharusnya memberikan perlindungan kepada korban tanpa mempersoalkan biaya-biaya yang timbul akibat proses hukum. Dalam hal ini, biaya visum untuk keperluan penyelidikan seharusnya menjadi bagian dari biaya yang ditanggung negara, bukan beban korban.
Di lapangan, banyak korban kejahatan yang mengaku terpaksa mengeluarkan uang untuk membayar biaya visum. Praktik ini semakin terasa tidak adil ketika korban berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Biaya yang bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, menjadi kendala bagi mereka yang ingin mencari keadilan.
“Setelah mengalami kekerasan, saya harus mengeluarkan biaya visum yang cukup besar. Ini sangat memberatkan saya yang sudah menjadi korban. Tapi, hingga saat ini perkara yang saya alami belum juga ada kejelasan,” ungkap salah seorang warga yang menjadi korban tindak kekerasan.
Keluhan semacam ini sering disampaikan oleh para korban kekerasan yang mengaku tak ada pilihan lain. Karena, agar laporannya dapat diproses laporan harus dikuatkan dengan bukti visum. Mereka berharap adanya perubahan dalam kebijakan yang lebih mengutamakan pemenuhan hak korban, bukan malah menambah beban korban. (YF)