GO BENGKULU – Tak terasa 78 tahun sudah Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa luar. Setelah kurang lebih 3,5 abad dijajah, barulah pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir Soekarno dan Moh Hatta berhasil memproklamasi kemerdekaan Indonesia kendati pada saat itu belum sepenuhnya diakui oleh Belanda. Belanda tetap ingin berkuasa lagi. Belanda melalui NICA membonceng Sekutu masuk ke wilayah Indonesia dan ingin berkuasa kembali. Singkat cerita, setelah melalui perjuangan alot hingga pertumpahan darah, akhirnya Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 di Istana, Dam, Amsterdam.
Kembali mengulas tentang makna kemerdekaan. Sesungguhnya, tujuan direbutnya kemerdekaan adalah agar bebas dari belenggu dan tekanan dari pihak manapun. Merdeka berarti bebas dari penjajahan atau kekuasaan pihak lain dan mempunyai hak untuk mengatur dirinya (Bangsa, red) sendiri.
Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat Indonesia saat ini sudah merdeka seutuhnya?
Memang iya, secara yuridis Indonesia telah merdeka dan mendapat pengakuan dari bangsa luar. Indonesia tak lagi dijajah dan tak lagi mendapat tekanan dari bangsa luar. Tapi sayang, fakta yang terjadi masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena masih kerap mendapat perlakuan yang tidak sejalan dengan makna kemerdekaan. Ironisnya, perlakuan itu bukannya didapat dari bangsa luar tapi dari bangsa sendiri. Hampir semuanya mengalami mulai dari masyarakat kecil hingga kaum elit. Industri Hukum dan Industri Jabatan pun kian menjamur. Bahkan tak jarang seorang aparatur mendapat tekanan dari atasan. Mulai dari kewajiban bayar upeti untuk meraih jabatan hingga kewajiban untuk mempertahankan jabatan.
Selain itu, kewenangan yang melekat malah kerap digunakan oknum sebagai senjata untuk menakut-nakuti. Tak jarang hukum diperjualbelikan, yang salah bisa saja tak tersentuh asal berani bayar begitupun sebaliknya.
Miris memang tapi itulah fakta yang terjadi dan sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Lebong baru-baru ini, para kepala desa terpaksa menguras uang DD (Dana Desa) hingga miliaran rupiah hanya untuk mengikuti Bimtek (Bimbingan Teknis) yang kabarnya dimotori oleh oknum APH (Aparat Penegak Hukum). Bahkan ada yang mengaku rela mencari pinjaman dan nekat melanggar regulasi terkait pengelolaan keuangan hanya untuk mengikuti Bimtek tersebut. Pengakuan dari sejumlah kepala desa hampir sama, hal itu terpaksa dilakukan karena takut.
Apakah ini namanya merdeka?
Kemudian di bidang pendidikan, masih ada anak-anak yang putus sekolah karena ketiadaan biaya yang diada-adakan oleh oknum dari pihak sekolah. Seperti kewajiban beli buku LKS, uang OSIS, uang sampul buku raport, uang sampul ijazah, uang seragam dan uang itu-ini lainnya yang memberatkan orang tua murid. Jika tidak diikuti maka ada konsekuensi yang harus diterima, rapot ditahan, ijazah ditahan, bahkan ada yang tidak bisa ikut ujian.
Padahal, dalam UUD 1945 pasal 31 telah ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Apalagi, sejak 10 tahun terakhir pemerintah Indonesia telah menggratiskan biaya pendidikan tingkat dasar (Wajib belajar 9 tahun). Seluruh sekolah negeri dilarang mengambil biaya pendidikan dan dilarang memberatkan orang tua murid dengan jenis biaya apa pun yang dipersyaratkan untuk pendidikan. Ini hanya sebagian kecil contoh saja dan masih banyak bentuk-bentuk penjajahan lain yang dilakukan oleh penjajah dalam negeri.
Lagi-lagi pertanyaannya, apakah ini yang namanya merdeka?
Di akhir kalimat penulis kembali menegaskan, semua ini dilakukan oleh oknum yang tak kunjung bertobat. Semoga ke depan tidak ada lagi penjajah-penjajah dalam negeri, tidak ada lagi pejabat-pejabat berotak “kurap” agar masyarakat bisa merasakan Kemerdekaan yang sesungguhnya untuk Indonesia yang lebih baik… MERDEKA!
Lebong, 17 Agustus 2023
Penulis: YOFING DT, wartawan gobengkulu.com
Baca juga:
– Takut Nolak, Kades Rela Cari Pinjaman untuk Bayar Bimtek