GO BENGKULU, LEBONG – Lagi-lagi dunia pendidikan tercoreng oleh ulah oknum tenaga pendidik. Di tengah pandemi Covid-19 yang serba sulit ini, para orang tua siswa masih dibebankan dengan pungutan-pungutan yang berkedok hasil rapat komite.
Seperti yang terjadi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 01 Lebong, para orang tua siswa kelas XII tahun ajaran 2020-2021 dikabarkan wajib mengumpulkan uang sebesar Rp 500 ribu saat menjelang ujian akhir sekolah yang diselenggarakan tidak lama ini.
Dari keterangan beberapa siswa, sebelum pelaksanaan ujian akhir beberapa waktu lalu, para siswa diminta untuk mengumpulkan uang sebesar Rp 500 ribu. Uang tersebut kegunaannya untuk biaya acara perpisahan, uang penulisan ijazah, uang foto bersama, uang infak untuk pagar dan uang infak untuk musala.
“Katanya untuk uang perpisahan, uang penulisan ijazah, uang foto dan sumbangan pagar dan Musala, jujur kami keberatan apa lagi di tengah pandemi seperti ini,” ceritanya.
Dia juga menceritakan, karena banyak yang protes terkait uang perpisahan, maka pihak sekolah memberi 2 opsi, jika setuju menggelar acara perpisahan maka setiap siswa wajib mengumpulkan uang Rp 500 ribu, sebaliknya, yang jika tidak setuju maka cukup bayar Rp 400 ribu saja.
“Banyak yang protes tidak mau ada acara perpisahan, jadi bagi yang tidak setuju cukup bayar Rp 400 saja, tapi kalau tidak salah ada juga yang sudah bayar Rp 500 ribu,” jelasnya.
Di lain sisi, kepala Sekolah MAN 1 Lebong, Nopi Epi Puspita, S.Pd, saat dibincangi awak gobengkulu.com dia menepis keras jika disebut melakukan praktik pungli (Pungutan Liar) di sekolahnya. Dia menjelaskan, terkait uang Rp 500 ribu yang diisukan di sekolahnya itu sebenarnya sudah menjadi kesepakatan wali murid melalui rapat komite sebelumnya.
“Itu kan sudah kesepakatan dan seluruh orang tua siswa tidak ada yang protes dalam rapat komite waktu itu, tapi kok kini mencuat,” kata Nopi, Jumat (20/8/2021) saat dibincangi di kantornya.
Dia juga menjelaskan, sebenarnya uang yang dikumpulkan oleh siswa itu bukan Rp 500 ribu, tapi Rp 400 ribu. Rp 500 ribu itu jika ada acara perpisahan, tapi sekarang acara perpisahan tidak boleh karena masih Covid-19 jadi uang yang dikumpulkan cuma Rp 400 ribu. Kegunaannya, lanjut Novi, untuk biaya penulisan ijazah dan fotokopi Rp 100 ribu, untuk sumbangan membangun pagar Rp 100 ribu, untuk sumbangan musala Rp 100 ribu dan untuk uang foto bersama Rp 100 ribu.
“Informasi ini tidak benar, mana ada perpisahan sekarang kan masih Covid-19. Yang dikumpulkan oleh siswa itu Rp 400 ribu, gunanya ya untuk penulisan ijazah, foto bersama, sumbangan pagar, musala, dan lain-lain, semuanya kan pakai biaya,” jelasnya lagi.
Namun demikian, dia juga mengakui sudah ada yang mengumpulkan Rp 500 ribu, tapi uang itu nanti akan dikembalikan lagi pada siswa sewaktu pengambilan ijazah.
“Memang ada yang sudah bayar Rp 500 ribu, tapi karena kita tidak ada acara perpisahan maka nanti akan kita kembalikan lagi ke siswanya sebesar Rp 100 ribu pada waktu pengambilan ijazah,” tandasnya.
//Kemendikbud Larang Sekolah Tarik Pungutan
Sementara itu dikutip dari Kompas.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan jelas melarang sekolah untuk mengambil pungutan biaya dalam proses Ujian Nasional (UN) dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 43 Tahun 2019. Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019 ini secara tegas menyebut, biaya penyelenggaraan dan pelaksanaan UN menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan sekolah.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Satuan Pendidikan tidak diperkenankan memungut biaya pelaksanaan UN dari siswa, orang tua/wali, dan/atau pihak yang membiayai peserta didik. Larangan tertulis tegas dalam pasal 17 Permendikbud No. 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional.
Pasal 17 ayat 1 menyatakan, “Biaya penyelenggaraan dan pelaksanaan UN menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Satuan Pendidikan.”
Larangan melakukan kutipan atau pembebanan biaya UN ditegaskan dalam ayat kedua pasal yang sama. “Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Satuan Pendidikan tidak diperkenankan memungut biaya pelaksanaan UN dari peserta didik, orang tua/wali, dan/atau pihak yang membiayai peserta didik.”
Sementara, larangan pungutan dalam pelaksanaan PPDB 2020 tertuang pada pasal 21 ayat 2 dan ayat 3
Pasal 21 ayat 2 menyatakan “Pelaksanaan PPDB pada Sekolah yang menerima bantuan operasional Sekolah tidak boleh memungut biaya.”
Sementara, Pasal 21 ayat 3 menyebutkan dua larangan untuk memungut biaya. “Sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah tidak boleh: a melakukan pungutan dan/atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB maupun perpindahan peserta didik; dan b. melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB.”
Untuk diketahui setiap sekolah menerima kucuran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) setiap tahunnya yang disalurkan secara bertahap. Untuk sekolah Madrasah dana BOS dikucurkan dari Kementerian Agama dengan besaran masing-masing tingkat berbeda. Untuk Tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) nilainya Rp 900.000/siswa. Untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) nilainya Rp Rp 1.100.000/siswa. Kemudian untuk Madrasah Aliyah (MA) nilainya Rp 1.500.000/siswa.
Lantas, apakah masih pantas jika pihak sekolah masih memungut biaya kepada siswa yang memberatkan orang tua, sedangkan pemerintah sudah mendukung penuh kegiatan-kegiatan di sekolah, mulai dari dan BOS, DAK dan lainnya. (Pls)