//Catatan Redaksi.
GO BENGKULU – Corona kapan kau pergi? Jika tak kunjung beranjak entah apa jadinya negeri ini, banyak hal dibatasi dan harus dirubah yang terkadang tidak masuk akal. Contohnya di bidang pendidikan, sudah hampir satu tahun anak-anak sekolah diliburkan. Sekolah memberlakukan sistem belajar dari rumah (BDR), anak-anak harus belajar sendiri dan harus mengeluarkan biaya lebih untuk dapat mengikuti materi pelajaran. Anak-anak harus punya paket internet dan punya HP android yang harganya selangit. Demikian itu bisa dipastikan hasilnya tidak akan maksimal karena tanpa pantauan dan bimbingan langsung dari empunya.
Tiba-tiba ada ujian (sekolah, red), tiba-tiba pula ada kenaikan kelas. Ujiannya pun dengan sistem daring (Dalam jaringan), anak-anak dikirimi tugas/soal yang harus diselesaikan tanpa pengawalan ketat. Sementara semua jawaban dari soal ujian yang diuji bisa didapati di internet tanpa harus belajar dan menghafal terlebih dahulu. Cukup browsing di google semua akan terjawab.
Kecerdasan dan daya tangkap anak tidak lagi menjadi indikator, yang ada siapa yang rajin mengerjakan tugas dia lah yang dapat nilai, terserah mau siapa yang mengerjakan atau dari mana sumber jawabannya yang penting kumpulin tugas. Bahkan tidak sedikit anak-anak yang hampir naik ke bangku kelas 2 SD tapi belum bisa baca tulis. Aneh tapi nyata, tapi itu lah fakta yang terjadi sekarang.
Haruskah kita berlama-lama larut dalam pembodohan ini, semua tergantung dari pemangku kebijakan. Jika sekolah dianggap sebagai cluster baru penyebaran Covid-19, lantas kenapa pasar tidak ditutup, mall tidak ditutup, apakah mereka yang ada di sana kebal akan virus? Jika jawabannya mereka menerapkan protokol kesehatan (Padahal faktanya tidak, red), apakah di sekolah tidak bisa diterapkan protokol kesehatan?
Jangan-jangan ini salah satu alasan untuk bermalas-malasan, kerja tidak gaji tetap ngalir (Jangan baper ye). Atau jangan-jangan ini salah satu bentuk penjajahan gaya baru dengan menyerang titik vital suatu negara, yakni sektor pendidikan. Karena dengan tidak bersekolah sudah tentu masa depan akan suram dan akan kembali ke zaman jahiliya.
Di indonesia yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam, jika dikembalikan ke agama, sudah bisa dipastikan iman kita sudah merosot. Dimana keyakinan akan rukun iman yang ke-6 yang katanya percaya pada qadha dan qadhar (Khusus muslim). Manusia memang tidak boleh menyerah dan pasrah dengan takdir, tapi yang namanya maut tidak akan kemana dan tidak akan tertukar.
Menurut syariat Islam, Allah telah mencatat segala kejadian-kejadian di dalam Lauhul Mahfuz, dari permulaan zaman sampai akhir zaman. Alangkah baiknya kita berikhtiar dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan jalani aktivitas seperti biasa, takdir biarlah Tuhan yang menentukan (Opini penulis).
Dikhawatirkan, dari musibah yang katanya sudah merenggut banyak nyawa ini ada oknum yang mencuri kesempatan untuk mengambil keuntungan pribadi. Contoh kecilnya saja, orang-orang diwajibkan memakai masker dan cuci tangan, pemerintah daerah/pusat kemudian mengalihkan APBD/APBN nya untuk membeli APD (Alat pelindung diri) berupa masker, cairan disinfektan dan lainnya yang kadang harganya tidak masuk akal. Kemudian, yang mau bepergian wajib dirapid test lah, swab lah, entah apa lagi namanya, yang semuanya harus mengocek kantong pribadi.
Terbaru Pemerintah Indonesia telah mengucurkan anggaran triliunan rupiah untuk pengadaan vaksin Sinovac yang katanya dapat memperkuat daya tahan tubuh dari virus Corona. Untuk tahap awal pemberian vaksin tersebut masih gratis, tapi belum tahu untuk 1, 2 atau 3 bulan ke depan, apakah akan bercokolan para pengusaha kaya yang berjualan vaksin secara mandiri. Semoga saja hal itu tidak terjadi dan semoga tidak ada peraturan yang mewajibkan bagi siapa yang akan bepergian ke luar kota wajib divaksin terlebih dahulu dengan menggunakan biaya pribadi (Do’a masyarakat yang takut hukum).
//Di Kabupaten Lebong Sekolah Tatap Muka Secara Giliran
Untuk di Kabupaten Lebong sendiri baru-baru ini sistem pembelajaran dilakukan dengan sistem sif (Giliran, red). Dalam satu minggu anak-anak hanya mencicipi belajar tatap muka sebanyak 2 kali. Itu pun jam belajarnya tidak full seperti biasanya, jam belajar dikurangi, waktu pulang dipercepat.
Seperti yang diberlakukan di SMPN 19 Lebong, yang terletak di Desa Karang Dapo Bawah, Kecamatan Bingin Kuning, di sekolah tersebut sudah mulai diberlakukan sistem belajar tatap muka, tapi tidak full belajar seperti biasanya. Dalam satu minggu 1 rombongan belajar (kelas) hanya diadakan 2 kali pertemuan (Belajar Tatap Muka) secara bergantian.
“Di sekolah kami sudah mulai diberlakukan sistem belajar tatap muka, tapi sistem sif-sifan, anak kelas 7 belajarnya di hari Senin dan Kamis, kemudian anak kelas 8 belajarnya di hari Selasa dan Jumat, dan anak kelas 9 belajarnya di hari Rabu dan Sabtu,” ungkap Kepala SMPN 19 Lebong, Efriyadi, melalui Wakil Kepsek, Nelda, S.Pd, Senin (8/2/2021).
Dalam kesempatan itu beliau mengutarakan harpannya agar wabah virus Corona cepat berlalu dari bumi ini agar sistem pembelajaran secara normal (Tatap muka, red) bisa digelar kembali seperti biasa. Dia tak menampik dengan sistem belajar sekarang ini hasilnya tidak maksimal. Dia yakin anak-anak tidak akan mampu menyerap materi pelajaran dengan baik karena kurangnya pantauan dan bimbingan secara langsung.
“Semoga saja virus Corona ini cepat berlalu dan pemerintah segera merubah kebijakan agar anak-anak bisa masuk sekolah seperti biasa. Belajar seperti biasa saja belum tentu anak-anak bisa nangkap, apa lagi belajar senen kemis seperti ini,” cetusnya.
Penulis: Pls/red