GO BENGKULU, LEBONG – Usia remaja adalah fase yang paling rentan bagi pertumbuhan anak. Dimana di usia remaja ini biasanya anak akan sulit membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, dan sulit mengontrol diri. Mereka pun merasa lebih dari segalanya, merasa paling tampan, paling cantik, paling gagah dan paling di atas semuanya. Dan itu hal yang biasa, mungkin semua dari kita pernah mengalaminya.
Dalam hal ini diperlukan peran aktif kontrol orang tua untuk membina dan melakukan pendekatan kepada anak-anaknya agar tidak terperosok ke jalan yang bisa menghancurkan masa depan bahkan bisa mencelakai dirinya sendiri.
Contoh kecil saja, seperti yang terjadi di salah satu Sekolah Tingkat Pertama (SMP) di wilayah Kecamtan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong. Anak-anak di sekolah tersebut kerap kali melakukan hal berbahaya yang bisa mengancam keselamatannya, yakni, bergantungan dan naik di atap mobil. Sementara mobil yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan tinggi dan boleh dikatakan ugal-ugalan. Herannya, hal demikian itu menjadi kebiasaan dan menjadi suatu kesenangan bagi mereka tanpa berpikir akibatnya bisa sangat fatal bahkan bisa berujung pada maut.
Demikian itu sudah menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi turun temurun sejak dahulu. Dan tidak sedikit anak-anak yang sudah menjadi korbannya.
Salah satu sopir angkot, Tiyo (23), yang kesehariannya mengangkut anak sekolah, ketika dibincangi awak gobengkulu.com, mengaku hal itu sulit untuk dihilangkan. Kendatipun sudah diperingati tapi anak-anak tetap saja naik ke atas atap mobilnya. Bahkan jika ditegur terlalu keras anak-anak tersebut malah tidak mau lagi menumpangi mobilnya.
“Sulit pak, sering kami tegur tapi dak didengar. Kalau kita marah-marah malah mereka tidak mau lagi naik mobil kita,”ungkapnya, Selasa (26/1/2021).
Ironisnya, dia juga mengaku, untuk mendapat pelanggan dan jadi idola para siswa, dirinya (Sopir, red) harus menghidupkan musik yang kencang dan bawa mobilnya (mengemudi, red) juga harus ngebut atau dengan bahasa kekiniannya ’sopir harus gaul’. Kalau tidak, mobil mereka tidak akan mau ditumpangi.
“Iya bang mau dak mau kita harus ikuti arus, kalau tidak kami dak dapat duit, penumpang anak sekolah ini andalan kami, kalau ngandalkan penumpang umum sekarang ini sudah sepi,” tuturnya.
Pantauan awak gobengkulu.com, bukan hanya bergantungan dan naik atap mobil, ada juga di antara mereka (siswa/i, red) yang mengemudi sepeda motor sendiri. Sayangnya, dengan usia yang belum cukup mereka mengendara tanpa menggunakan helm dan berbonceng tiga melebihi kapasitas semestinya. Mungkin ini ke depan menjadi PR bagi orang tua, guru, masyarakat dan mungkin lebih afdol lagi diaktifkan aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi Lalu Lintas. (Pls)